6.2.09

MENGENAL DIRI

Prestasi, pencapaian yang diraih maupun potensi yang dimiliki seseorang seringkali melahirkan satu sikap dan perilaku yang berlebihan terhadap wujud dan eksistensi diri. Paling tidak ada rasa bangga yang timbul, besar hati atau yang lebih tepat percaya diri. Sebenarnya jika sikap-sikap yang dikemukakan tadi hanya sampai kepada tataran tersebut –percaya diri—tentu masih sangat wajar dan tidak mendesak untuk dikhawatirkan.


Namun jika sudah mengarah kepada atau setidaknya termuati oleh sikap “merasa paling” atau ujub (I’jab bi al-nafs), maka harus segera diwaspadai. Hal itu merupakan indikasi awal lemahnya kecerdasan spiritual, emosional bahkan intelektual. Ada sebuah ungkapan hikmah yang mendukung pernyataan di atas yaitu I’jabu al-Rajuli bi Nafsihi ‘unwanu dhu’fi ‘aqlihi (seseorang yang membanggakan dirinya pertanda lemah akal budinya).
Secara spiritual orang tersebut berarti lupa bahwa kemampuan (potensi) yang ia miliki bukanlah karena dirinya dan bukan atas rekayasa dirinya. Ia lupa bahwa ia tidak memiliki kekuatan dan kekuasaan apapun tanpa intervensi dari Sang Maha Kuasa. Secara emosional, ia tidak memiliki empati pada seseorang, apalagi simpati. Oarang lain dianggap rendah dan selalu dilihat sebelah mata.Orang lain selalu diposisikan di bawah sedang dirinya selalu merasa di atas.
Secara intelektual, ia tidak mampu melihat dengan cerdas bahwa keberhasilan dapat diraih oleh siapapun. Ia tidak mampu berpikir jernih bahwa setiap orang berpotensi meraih berbagai prestasi. Bahkan, jangankan orang yang normal secara fisik, yang punya cacat tubuhpun dapat menggapai prestasi (pencapaian dan keberhasilan). Sebut saja Syeikh Abdullah bin Baz, seorang ulama besar Arab Saudi yang tuna netra namun sangat disegani dari sisi keilmuannya.
Sikap over confidence (terlalu percaya diri) semacam ini tentunya akan melemahkan kamampuan berpikir objektif. Dalam konteks dinamika hidup yang semakin kompetitif sikap mental ini sangat tidak kondusif bagi pembentukan kepribadian yang produktif dan kompetitif. Ketika seseorang merasa cukup dengan apa yang diraih dan enggan untuk terus menggali dan belajar serta berkarya, maka sesungguhnya ia sudah mulai menapaki gerbang ketertinggalan.
Sedangkan dalam konteks kehidupan bermasyarakat, sikap over confidence sangat berpotensi membentuk pribadi yang sulit bekerja sama disebabkan oleh perasaan “lebih”, sehingga sulit untuk bisa percaya dengan orang lain. Padahal dalam kerja kolektif, kepercayaan atau trust kepada partner kerja menjadi syarat mutlak untuk mewujudkan timwork yang harmonis dan solid dalam suasana yang kondusif.
Untuk menghindari sikap mental yang demikian, seseorang harus mengenal diri.Dalam upaya tersebut, setiap individu harus berani untuk melakukan self critique (kritik diri) dan self control(control diri, sehingga mampu bersikap wajar dalam berbagai situasi dan kondisi.Tidak menyombongkan diri (adigang,adigung,adiguna) dengan potensi yang dimiliki dan prestasi yang dicapai.
Juga tidak memaksa diri berlagak seperti orang hebat atau diidolakan, ikut-ikutan dengan tren dengan gaya yang sedang “in” yang sebenarnya tidak bermuatan moral, etika dan estetika. Tren dan gaya yang berorientai pada keuntungan (profit oriented) materi, hedonistic dan pemenuhan keinginan-keinginan sesaat yang hanya didominasi nafsu dan syahwat.
Jika itu yang terjadi, maka yang akan bermunculan adalah individu-individu yang tidak mengenal diri, lupa diri dan akhirnya tidak tahu diri.Generasi yang hanya berpikir dan berorientasi pada “what to be”, dan melupakan dinamika lebih penting “what to do”.Jika seseorang sudah terpuruk dalam situasi dan kondisi yang demikian berarti ia sudah berada dipinggir tebing kehancuran dan jurang kebinasaan.
Filsafat hidup “what to do” ini harus ditanamkan kepada setiap anggota masyarakat. Tanpa harus berharap What to be atau what to get setiap orang harus berlomba untuk berkarya bagi kemaslahatan umat dan khalayak ramai.Jika seseorang sudah mampu untuk mewujudkan semangat untuk bermanfaat bagi orang lain, niscaya bangsa ini akan maju secara massif dan simultan. Hal ini sesuai dengan ucapan dan pesan KH.Imam Zarkasyi, pendiri Pondok Modern Gontor “Berjasalah tapi jangan minta jasa”.
Fenomena perkembangan kehidupan sosial budaya masyarakat Indonesia dewasa ini, tampaknya lebih tepat bila dilihat dari dimensi ini. Para remaja desa yang sopan dan lugu kemudian bersikap kasar dan arogan atau putri-putri Indonesia yang tidak berani untuk menampilkan jati dirinya sebagai orang Indonesia (keindonesiaannya) justru malah memilih gaya Eropa atau Amerika yang itu semua dikarenakan mereka tidak mampu mengenali diri mereka sebenarnya.Padahal ketika seseorang mengenal dirinya sendiri (kemampuan,potensi dsb.) maka seseorang dapat mengendalikan emosi dan ambisinya, serta mengarahkan hasrat dan keinginannya pada hal-hal yang lebih positif dan berguna.
Generasi muda sekarang telah menjadi korban dari budaya individualism, konsumtivisme dan hedonis
. Sehingga terpuruk pada disorientasi hidup. Memahami dunia hanya untuk dunia.Hal ini akibat dari tidak mengenal diri dan tujuan penciptaannya sehingga kehilangan arah hidup. Sungguh menarik untuk diresapi pesan bijak seuntai bait mahfudzat berikut ini “Halaka umruun lam ya’rif qadrahu, hancurlah orang yang tidka mengenal diri.

0 komentar: