11.11.08

SEBUAH REFLEKSI

الله أكبر ×9 الله أكبر كبيرا والحمد لله كثيرا وسبحان الله بكرة وأصيلا.الحمدلله الذي أنزل العيد ضيافة للأنام وجعله من شعائرالإسلام أشهدأن لاإله إلالله وأشهدأن محمدا عبده ورسوله.أللهم صل علي سيدنا محمدوعلي أله وصحبه.أمابعد. فيا عبادالله إتقواالله حق تقاته ولاتموتن إلا وأنتم مسلمون.

Jama’ah I’edul Fitri yang dimuliakan Allah.

Ketika matahari akhir Ramadlan terbenam di kaki langit bagian Barat dan malam 1 Syawwalpun datang merayapi bumi, berubahlah segenap perasaan kita, yang tadinya duka berganti suka, sedih lenyap menjelma kegembiraan.


Selama Ramadlan, satu bulan penuh kita telah melakukan suatu perjuangan yang berat, lebih berat dari perjuangan mengangkat senjata melawan musuh yang nyata dan konkrit, lebih berat dari mengorbankan sebagian harta yang kita miliki, itulah perjuangan besar (Al Jihaad Al Akbar) yaitu mengendalikan hawa nafsu, mengahadapi musuh yang tidak tampak oleh kasat mata namun justru berada dalam diri kita, menyatu dalam diri kita.

Setelah sebulan penuh berpuasa, melatih diri dan membina taqwa serta mengharap ridla Allah SWT, kita kibarkan panji dan bendera kemenangan melalui alunan takbir dan tahmid (Allahu Akbar 3x Walillah Al-Hamdu).Namun begitu, kita harus jujur dan akui bahwa masih banyak di antara sauadara-saudara kita ummat Islam yang hanya memilki kulit luar dari perayaan ‘Idul Fitri ini.

Banyak di antara kita yang mengukur ‘Idul Fitri identik dengan pakaian baru. Padahal kegembiraan yang hakiki dalam merayakan Idul Fitri adalah kegembiraan karena kembali kepada fitrah (kesucian diri). Bersih dan suci seperti bayi lantaran dibersihkan dan disucikan dengan pelaksanaan ibadah ramadlan berserta rangkaiannya. Hakikat ‘Idul Fitri terletak di dalam jiwa yang baru.

Jama’ah I’edul Fitri yang dimuliakan Allah.

Ketika pelaksanaan ibadah puasa Ramadlan hampir usai dan memasuki malam 1 Syawwal, maka ada satu ibadah wajib ‘ain/fardlu ‘ain yaitu menunaikan zakat fitrah. Kita memahami salah satu fungsi ibadah puasa ialah melatih kepekaan sosial yang pada gilirannya akan melahirkan kesetiakawanan sosial. Dengan ikut merasakan lapar dan dahaga kita mengerti bagaimana penderitaan orang-orang miskin. Pengalaman inilah yang akan mengetuk pintu hati kita untuk hidup tidak hanya memikirkan diri sendiri. Kesadaran itu kita wujudkan dalam bentuk amal nyata dengan membantu orang yang membutuhkan pertolongan di antaranya dengan menunaikan zakat fitrah.

Diawali dari tadi malam takbir telah dikumandangkan. Dalam kesempatan yang berharga ini, mari kita pahami untaian-untaian kalimat takbir yang selalu kita baca dalam setiap perayaan Idul Fitri yang berbunyi :

لاإله إلاالله ولا نعبد إلا إياه مخلصين له الدين ولو كـــره الكافرون.

Yang artinya : Tiada Tuhan yang berhak untuk disembah selain kepada-Nya. Dan janganlah menyembah selain kepada-Nya dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya, walaupun orang-orang kafir tidak menyukainya.

Yang baru dibacakan tadi merupakan sebuah pengakuan yang tulus bahwa Allah Maha Besar tidak ada Tuhan selain Dia dan Maha Suci Allah dari segala kekurangan. Kalimat takbir di atas juga mensiratkan makna bahwa ibadah yang kita kerjakan semata-mata mengharap ridla Allah. meminjam istilah seorang sufi : Rabi’atul Adawiyah yang mengatakan bahwa ibadah tidak kerjakan karena mengharapkan surganya Allah dan tidak karena takut kepada neraka. Itu merupakan representasi tingkat keikhlasan yang tinggi yang dianjurkan oleh seorang Rabi’atul Adawiyah. Seseorang yang beribadah karena mengharap surga ….barangkali kalau surganya tidak ada maka bubar juga ibadahnya. Begitupun seseorang yang beribadah karena takut siksa api neraka …mungkin kalau tidak ada berita tentang neraka tak kan pernah tergerak hatinya untuk menyembah Allah SWT.

Tetapi apabila seseorang beribadah karena rasa cintanya kepada Allah, kapan dan dimanapun, ia akan konsisiten menyembah Allah SWT. Dikala ia miskin, ia menyembah Allah, demikian pula saat ia diberikan kelapangan rizqi oleh Allah SWT. Karena itu alangkah naifnya jika beribadah hanya di saat-saat kritis, miskin dan masih pegawai rendahan, rizqi lagi seret, pikiran lagi mampet, baru… kita perlu beribadah, namun setelah berganti menjadi lapang dan senang… ibadah kita angin lalukan saja. Barangkali seperti inilah orang yang disindir oleh Allah dalam firman-Nya dalam QS.Yunus :12:

وأذا مس الإنسان الضر دعانا لجنبه اوقاعدا قائما فلماكشفنا عنه ضره مر كأن لم يدعنا إلي ضر مسه...(يونس:12)

Artinya: Dan apabila kesusahan menimpa manusia, ia berdo’a memanggil Kami, sambil berbaring atau duduk berdiri, maka tatkala kami hilangkan (angkat) kesusahannya, ia berjalan (melenggak-lenggok) seolah-olah ia tidak pernah berdo’a (memenggil) Kami untuk menghilangkan kesusahan yang pernah menimpanya…(QS.Yunus:21)

Maka takbir dan tahmid yang kita lantunkan sesungguhnya mendidik dan sekaligus sebagai sebuah ikrar untuk mengikhlaskan menyembah Allah dalam segala keadaan. Meskipun orang-orang kafir dan musuh-musuh kita tidak akan berpangku tangan sampai kita bergeser dan beralih dari menyembah Allah, ke menyembah harta, jabatan, kedudukan bahkan berpindah ke agama mereka. Tapi kita sudah berikrar bahwa “sekali menyembah Allah kita tetap menyembah Allah.” “Sekali Islam maka selamanya kita Muslim”.

Jama’ah Idul Fitri Rahimakumullah.

Takbir berikutnya yang perlu kita fahami adalah :

لاإله إلاالله صدق وعده ونصر عبده .

Artinya : “Tiada Tuhan selain Allah, tiada sekutu bagi-nya, telah tetap janji Allah dan telah menolong hamba-hamba-Nya.”

Ungkapan ini merupakan kesaksian bahwa Allah SWT Maha Esa, tidak beranak dan tidak diperanakkan. Ia tidak dapat diumpamakan dan Maha Suci Allah dari segala perumpamaan. Sebuah keyakinan bahwa Allah Maha Benar dengan janjinya, bahwa Allah SWT akan membahagiakan orang-orang yang beriman.

Allah SWT akan menolong dalam suka dan duka, dalam miskin dan kaya dan jika pertolongan Allah SWT datang tak seorangpun yang dapat mengancam keselamatan kita. Marilah kita lihat perjalanan Rasulullah. Sejak periode Makkah, kalau menurut taktik dan strategi perang militer …, Nabi Muhammad … mestinya sudah hancur. Sebab pada periode Makkah itu kafir Quraisy yang dipimpin oleh Abu Jahal, Abu Lahab dan Abu-Abu yang lainnya mengerahkan segala kemampuan dan daya upaya mereka untuk menghancurkan perjuangan Nabi. Teror mental, ancaman fisik, fitnah, cercaan dan makian dan terakhir mereka sepakat untuk membunuh Nabi, namun Allah berkehendak lain yang kemudian pada akhirnya Nabi melakukan Hijrah. Kalau menurut perhitungan otak manusia tentunya Nabi sudah terbunuh atau perjuangannya gagal. Jelaslah ada factor X dan factor X itu tidak lain adalah pertolongan Allah SWT.

Jama’ah Id yang dimuliakan Allah.

Bacaan takbir berikutnya adalah :

وأعــــز جنــده .

Artinya : “Dan Allah memuliakan tentara-Nya”.

Siapakah tentara-Nya ? tentara Allah ialah orang yang berjuang dan menegakkan serta mengamalkan ajaran agama dengan ikhlas hanya karena Allah semata. Jika kita memakmurkan masjid bagi kejayaan syi’ar Islam dan umatnya maka kita adalah tentara Allah. Sekarang ini kita memang tidak dalam suasana perang. Tetapi perang yang kita hadapi ini adalah perang ideologi, perang keyakinan, perang urat syaraf, perang pengaruh, perang politik, perang budaya… musuh kita tidak tampak, namun pengaruhnya sangat kita rasakan. Anak-anak kita disuguhkan dengan berbagai informasi yang tidak semuanya bernilai positif dan memiliki nilai-nilai yang bermanfaat tapi justru akan menggoyahkan keyakinan yang mereka pegangi selama ini. Sekarang ini kita sebagai orang tua mungkin masih beriman, masih muslim tetapi generasi yang akan datang anak cucu kita di masa 10-20 tahun ke depan siapa yang tahu ?

Namun demikian kita yakin bahwa sejarah telah membuktikan bahwa Allah SWT senantiasa memberikan pertolongan-Nya apabila kita ikhlas dan penuh kesungguhan dalam menegakkan ajaran Islam, bukan karena kehormatan harta, kedudukan dan sebagainya. Menjadi tentara Allah itu tidak harus memakai pakaian resmi, berlindung di bawah korps atau di bawah bendera tertentu. Kita dapat menggunakan berbagai ragam bendera apa saja tapi niat dan motivasi kita satu yaitu … berjuang membela dan menegakkan agama Allah.

Bacaan berikutnya :

وهزم الأحزاب وحده

Artinya : “Dan mengalahkan semua musuh /lawan-NYa sendirian.”

Umat Islam telah di ikat oleh satu aqidah yang sama. Tidak peduli apa warna kulitnya, darimana asalnya, apa bahasanya yang pasti bahwa setiap muslim adalah bersaudara. Seorang muslim boleh jadi dibungkus dengan baju politisi, tentara, polisi, teknokrat, konglomerat, artis, birokrat dan sebagainya, tapi jiwa dan kepribadiannya tidak boleh luntur karena baju yang dipakainya.

Walaupun dibungkus dengan beragam baju dan jaket sosial tapi mampu menjalankan kebersamaan. Ia sanggup mengatakan : “Saya camat tapi saya beriman, saya jaksa tapi saya juga beriman, saya politisi saya tetap beriman, Saya Wali Kota tapi saya tetap beriman. Saya polisi tapi saya juga beriman”.

Jangan sampai kita terbalik mengatakan : “Iya,.. iman sih iman… tapi saya kan…. camat, Islam sih… Islam tapi saya kan… jaksa ?”, Apa artinya ini ? Ini berarti bahwa pangkat, jabatan/kedudukan di agung-agungkan sampai mengalahkan dan menyingkirkan keyakinan yang dianut. Rambu-rambu agama tidak lagi dijadikan sebagai pelita hidupnya. Agamanya hanya dijadikan sekadar pemantas saja dalam pergaulan. Na’udzu Billahi Min Dzalik.

Sekali lagi baju kita boleh berbeda, lambang dan bendera boleh beraneka warna, kaos dan jaket silahkan tidak seragam, tapi jangan lupa bahwa kita adalah orang beriman, mempunyai satu aqidah, punya satu Qur’an dan Hadits sebagai pedoman dan pegangan dalam menapaki kehidupan.

Jama’ah Idul Fitri yang berbahagia.

Pagi ini berada di sini, di tanah lapang ini untuk menunaikan shalat idul fitri. Untuk shalat idul fitri ini rasanya sudah tidak perlu diperintah dan dianjurkan lagi, karena memang orang yang tidak shalatpun akan berbondong-bondong untuk melaksanakannya. Baginya meskipun shalat shubuh tidak dilakukannya tapi shalat id sih… harus.Baiklah, kita berhara mudah-mudahan shalat ied ini bagi mereka merupakan pertanda awal untuk melaksanakan shalat wajib dan memulai lembaran baru dalam hidupnya untuk menjadi seorang muslim yang taat. Bapak, Ibu, saudara sekalian ! belum terlambat untuk bertobat dan mempebaiki diri dan dimulai dari Iedul Fitri ini.

Apabila shalat ini telah usai kita laksanakan, kitapun kembali ke rumah untuk bersilaturrahim dengan sanak kleuarga. Dengan ibadah puasa, kita membersihkan dosa kita kepada Allah SWT. Tinggal dosa kita yang Allah tidak akan mengampuni jika kita belum meminta maaf pada orang yang bersangkutan. Kita adalah makhluk sosial, makhluk yang bermasyarakat, dalam pergaulan kita sehari-hari entah besar atau kecil, entah sengaja atau tidak, kita pernah terperosok berbuat salah dan dosa. Maka pada saat iedul fitri inilah kita saling memaafkan. Disini letak kebahagiaan Idul Fitri yaitu kemenangan mengendalikan hawa nafsu dengan berpuasa dan membina keharmonisan pergaulan dengan maaf memaafkan. Karena itu jika iedul Fitri ini hanya pada pakaian baru…, rumah baru…, kendaraan baru, maka saya rasa itu kebahagiaan yang semu.

Ironis memang… menyaksikan sekian banyak orang yang merayakan iedul fitri dengan semua fasilitas hidup serba baru tetapi puasanya masih amburadul, tarawihnya tidak karuan, tadarrus alqur’an tidak pernah. Kebahagiaan macam apa yang dirayakan…? Mudah-mudahan khutbah ini dapat mengingatkan bahwa iedul fitri bermakna kembali kepada kesucian setelah jiwa dan raga serta harta kita, kita sucikan dengan puasa dan zakat.

Allahu Akbar 3x Walillahilhamdu

Jama’ah ‘Ied yang berbahagia.

Tugas kita berikutnya adalah menjaga semangat Ramadlan dalam kehidupan sehari-hari di luar Ramadlan. Pelaksanaan ibadah puasa yang berhasil akan membentuk jiwa, semangat, gaya hidup sesudah Ramadlan. Satu bulan Ramadlan mewarnai dan menjiwai sebelas bulan lain. Karena itu jangan sampai terjadi begitu keluar dari bulan Ramadlan kita malah teriak “merdeka!”. Sebaiknya, selesainya Ramadlan bukan beraarti selesai pula segala-galanya. Pengendalian diri harus meresap ke dalam jiwa. Kemapuan mengendalikan diri yang dibina selama puasa Ramadlan harus kita pertahankan dalam kancah kehidupan sehari-hari.

Ketidak sanggupan merawat pengendalian diri akan melahirkan realitas di mana banyak “orang dapat memulai dengan baik tapi sedikit orang yang dapat mengakhiri dengan baik. Sikap sabar, ulet, tahan uji, toleran, tepo seliro harus tetap kita tumbuh suburkan dalam jiwa kita selepas Ramadlan ini.

Demikian khutbah ini disampaikan dan mohon maaf atas segala kekeliruan dan kesalahan. Khatib mengucapkan Minal ‘Aidiin Wal Faizin Fi KUlli ‘Amin Wa Antum Bikhairin.

0 komentar: